LITERASI TASAWUF
LITERASI TASAWUF
Oleh: Hamzah
Salah satu kuliah paling menyita perhatian saya, adalah kuliah oleh Prof. Tgk.Ali Hasjmi. Seorang Sejarahwan, budayawan dan ulama kharismatik Aceh.
Kuliah umum ini diselenggarakan oleh Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, 1995..
Saya sangat senang bisa mengikuti kuliah beliau secara langsung, sambil face to face dengan tokoh Aceh berlevel internasional itu.
Meski dengan suara yang agak terbata-bata, tapi masih sangat mudah dipahami apa yang disampaikan oleh beliau. Usia yang sepuh dan kondisi fisik yang lemah, membuat beliau kadang terhenti sesaat. Namun menurut saya, tidak ada yang kurang.
Apalagi saat beliau me-review pengkhidmatan orang-orang Aceh terhadap 'tamaddun' Islam. Kuliah semakin menarik saja.
KETERTARIKAN KEPADA LITERASI TASAWUF
Saat Tgk. Ali Hasjmi menyinggung soal peradaban Melayu Islam, termasuk Banda Aceh, beliau menyebut dua ulama yang pernah menebar pengaruh. Syekh Nuruddin ar-Raniry dan Hamzah Fanzuri.
Kedua nama ini sebenarnya tidak asing di telinga saya, meski tanpa mengenal siapa dan dari mana serta apa keahlian berdua.
Menurut beliau, kedua tokoh inilah yang paling berpengaruh terhadap bangunan peradaban Islam di masyarakat Aceh.
Baik ar-Raniry, maupun Fanzuri, keduanya ahli di bidang tasawuf (selain bidang lain). Keduanya telah memberikan warna kehidupan 'sufistik' bagi orang Aceh.
Dari sejak inilah sebenarnya bermula ketertarikan saya kepada tasawuf.
Benar saja. Hari demi hari saya semakin gemar membaca buku-buku bertema tasawuf.
Saya akhirnya merogoh kocek semampunya untuk membeli atau meng-copy kitab-kitab tasawuf.
Untungnya perpustakaan IAIN ar-Raniry saat itu sudah megah dan sangat luas. Menampung mungkin jutaan literatur berbagai bidang.
Kitab atau buku tentang tasawuf, bagi saya sangat luar biasa lengkap.
Ketertarikan saya kepada tasawuf al-Ghazali. Mengantar saya saat menjelang penelitian tesis, yakni pasca lulus ujian proposal. Saya memutuskan untuk memburu kitab-kitab tasawuf al-Ghazali.
Saya berhasil mengoleksi, nyaris semua hasil karya beliau yang bertemakan tasawuf. Meski dengan cara meng-copy.
Selain itu saya menitip membeli kitab-kitab, terutama kitab Ihya' 'Ulum al-Din yang diterbitkan di Mesir, melalui teman, Abdul Haris, seorang ahli bahasa Arab, berasal dari Jember, alumni IAIN Sunan Ampel Surabaya.
GERAKAN LITERASI TASAWUF
Kembali ke kedua tokoh sufi, Hamzah Fanzuri dan Nuruddin ar-Raniry. Beliau berdua sesungguhnya aktor utama bagi terjadinya proses literasi tasawuf di Aceh pada abad ke-16 M.
Sikap dan corak ke-Islaman yang sufistik orang Aceh, tidak terlepas dari proses literasi yang dibangun oleh kedua tokoh tersebut. Sangat mungkin, gelar kota 'serambi Mekah', juga ada pengaruh dari perjuangan literasi tasawuf kedua tokoh tersebut.
Hamzah Fanzuri, seorang sufi yang gemar mengembara ke berbagai negara, menuntut ilmu. Beliau merantau ke Jawa (Kudus, Banten), Johor, Siam, India, Persia, Irak, Makkah dan Madinah.
Tak pelak, beliau menguasai sejumlah bidang ilmu, antara lain
ahli dalam ilmu fiqh, tasawuf, filsafat, sastra, logika, sejarah dan lain-lain.
Hamzah Fanzuri adalah tokoh sufi yang terkenal di Aceh. Hamzah Fansuri dilahirkan di Fansur Singkil, Aceh. Beliau hidup pada zaman pemerintahan Sulthan Alaiddin Riayatsyah IV (1589–1604 M).
Hamzah Fansuri banyak berjasa dalam pengembangan syiar Islam. Beliau bersama teman sejawat, Syamsuddin as-Sumatrani, mendirikan dayah (pesantren) di kampung halamannya, Singkil (sekarang Aceh Selatan).
Kontribusi literasi akademik beliau yang penting adalah karya tulisnya dalam bentuk sastra. Karyanya lebih banyak terkait dengan tasawuf dengan corak filsafat tentang wujud (wahdat al-wujud).
Adapunya karya tulis beliau, antara lain,
Syarb al- ‘Asyiqin atau Zinatul Muwahhidin,
Asrar al-‘Arifin fi Bayan ‘Ilm as-Suluk wa at-Tauhid, Al-Muntahi,
Ruba’i Hamzah Fansuri,
Kasyf Sirri Tajalli ash-Shibyan, Fi Bayani Ma’rifah,
Syair Si Burung Pingai, Syair Si Burung Pungguk, dan lain-lain.
Sementara itu,
Syekh Nuruddin ar-Raniry, ulama berasal dari Gujarat India,
tidak saja menyiarkan Islam secara lisan, tetapi beliau juga melalui produktivitas karya tulisnya.
Kitab yang beliau pernah tulis, tidak kurang dari tiga puluh buah. Antara lain kitab karangan beliau adalah al-Shirath al-Mustaqim (1634), Hidayat al-habib fi al- Targhib wa al-Tarhib (1635),
Bustanus al-Shalathin fi dzikr al-Awwalin Wa’l-Akhirin (1638), Latha’if al-Asrar, Asral an-Insan fi Ma’rifat al-Ruh wa al-Rahman, Jawahir al-Ulum fi Kasyf Ma'lum,
Kitab-kitab ar-Raniry tersebut, lebih banyak mengemukakan ajaran tentang Tuhan, manusia, alam dan Wujud.
Para ilmuan muslim saat itu, menganggap bahwa ajaran yang dibawakan ar-Raniry sebagai paham baru tentang wujudiyyah.
Pahamnya itu pulalah yang dijadikan kritik pedas kepada Hamzah Fanzuri tentang ajaran Wahdat al-Wujud yang dianggap sesat oleh ar-Raniry.
Meski begitu, keduanya tetap berkontribusi besar terhadap pembangunan peradaban umat Islam. Tidak hanya di Aceh, tetapi juga dunia Islam secara global.
Gerakan literasi, baik Hamzah Fanzuri maupun Nuruddin ar-Raniry, menjadi pelajaran dan teladan terbaik bagi generasi abad ke-21 saat ini. Dalam rangka membangun kembali spirit literasi bidang tasawuf.
Literasi tasawuf, dianggap penting, di tengah lajunya arus budaya asing dan globalisasi yang membuka lebar sejumlah potensi yang bakal menggiring generasi muda muslim, melupakan salah satu aspek ajaran esoterik agamanya, tasawuf.
Budaya asing, boleh membanjir, perubahan sikap dan sosial menjadi niscaya. Tapi jangan lupa, karakterustik dan spiritual Islam harus tetap hidup. Tak ada cara lain, kecuali, dengan menggelorakan "literasi tasawuf". []
Ternate, 2/8/2020
Komentar
Posting Komentar