SEMALAM DI ATAS BUS "KURNIA"
SEMALAM DI ATAS BUS "KURNIA"
Hamzah
Kucuplik sepenggal kisah perjalananku merantau di bumi Serambi Mekah. Banda Aceh. Tiada lain kecuali sebagai latihan menulisku. Tuan dan Puan yang kurang berkenan. Boleh diabaikan.
Selain itu. Ini kado khusus buat perempuan yang selama 22 tahun telah menemaniku. Suka dan duka. Saat ini. Setelah kurang dari sebulan saya sembuh dari sakit. Dengan setia dan penuh cinta-kasih, merawat dan melayani keperluanku selama sakit. Wujud terima kasihku. Kutulis kisah ini. Semoga kisah ini menyentuh hatimu.
Kado untukmu BN tercinta, !
***
Asyik ngobrol bersama teman, tiba-tiba satpam memanggil. Dipanggil pak rektor, katanya. Saya berdiri, bersama satpam menuju tangga lantai 2 ruangan rektor IAIN Alauddin, Ujung Prof. Dr. Abd. Muin Salim, MA. (bapak dari Prof. Arskal Salim) Kala itu 1995,
Pak Hamzah dipanggil pak rektor, kata satpam sambil memegang tangan kiriku. ada apa? saya penasaran. belum tahu, jawabnya.
Assalamualaikum. Salam saya dijawab rektor, pelan. Silakan duduk. Begini, saya baru saja terima fax dari panitia seleksi ujian S2 pascasarjana. Pak Hamzah lulus di PPS IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Alhamdulillah, gumamku. Senang sekali. Tapi keingat dapat biaya dari mana ke Banda Aceh ?
Pak Hamzah harus segera ke Aceh, karena sudah terlambat, kata pak rektor. Insya Allah jawabku.
Saya ke kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI). Jadwal pengumuman seleksi dosen tetap yayasan hari ini ditempel.
Senang sekali, nama saya tertera satu-satunya di fakultas agama UMI. Lulus. Subhanallah ya Allah, hari ini saya lulus di dua tempat. Meski begitu, jadi bingung memilih.
Saya putuskan menemui pak kiyai Abd. Rahim Amin, dekan. Setelah memberitahu kabar, beliau sarankan kuliah S2. Dosen sudah di tangan batal pikirku. Ya batal meski berat. Kala itu menjadi dosen, langka dan mewah.
Esok hari saya pulang kampung (pulkam). Tujuan cuma dua, izin Ibunda dan minta ongkos perjalanan.
Minta izin, it's ok. Tapi meminta segepok uang biaya perjalqnan jauh di depan Ibunda yang sakit-sakitan, bukan hal gampang. Berat.
Di mana Ibunda dapat uang sebanyak itu ? jawab beliau. Saya melihat rona sedih bergelayut di wajah beliau.
Ekonomi keluargaku memang seret. Setiap pulang libur, saya paling dibekali 25 kg beras, living cost 30 ribu untuk satu semester. Jauh tidak cukup. Begitulah.
Sampai esok hari, belum ada tanda. Menjelang sore beliau berdua kakak tertua (almarhum) serius ngobrol. Firasatku ada solusi.
Benar. Berselang tiga hari, Ibunda memanggilku. Ini uang anakku gunakan baik-baik. Anakku belajar yang rajin di rantauan. Saya menyambut tangan mulia itu. Menciumnya. Sebelum memluk erat tubuh beliau. Air mata tak terbendung. Jatuh.
Syukur ya Allah. Terima kasih Ibunda. Keinginan lanjut kuliah terkabul.
Dua tahun setelah itu. Sepulang setelah selesai kuliah, saya baru tahu, jika ongkos perjalanan itu, adalah hasil penjualan perhiasan emas ibunda. Masya Allah. Saya sedih, merasa berdosa.
***
Tiket pesawat Garuda di tangan. Rute UPG-CGK-MED-BNA siap take off. Ini perjalanan pertamaku. Pesawat terbang. Tanpa persiapan yang cukup--maklum saja-- berangkat penuh harap dan doa. Saya serahkan kepada-Nya.
Perjalanan lancar. Tiba di bandara Blang Bintang, Babda Aceh. Bareng orang yang katanya juga mau ke IAIN Ar-Raniry. Syukur.
Setiba di depan kampus. Saya melapor resimen jaga. Saya diantar langsung ke asrama mahasiswa S2 di komplek Darussalam.
Setiba, saya disambut teriakan "wah ini pak daeng" dari Ujung Pandang. Risih dan malu rasanya.
Kebanyakan mereka dari Jawa dan Sumatera. Dengar dari logat mereka.
Sehari, dua, tiga dan seterusnya, sudah membaur menjadi satu. Sahabat. Saya sekamar bersama Nawawi asal IAIN Sunan Ampel Surabaya. Bersama sekira hampir 20 teman seasrama.
Ada tradisi unik teman seasrama. Menggunakan sepeda sebagai transportasi. Agak unik, sebab orang pribumi Aceh kurang familiar dengan sepeda model baru.
Bisa dipastikan, jika ada pesepeda, agak berombongan. Mahasisws S2.
Kuliah berjalan ketat. Tugas banyak dan berat. Seringkali kejar deadline, semalaman begadang.
Semua kerja keras nafsi-nafsi. Tidak ada waktu kerjasama. Masing-masing sibuk memburu referensi. Menyusun naskah makalah. Mengetik, memperbanyak.
Fasilitas mengetik belum secanggih sekarang. Makalah diketik mesin tik manual. Diperbanyak menggunakan mesin stensil yang diputar. 20 ribu uang tips buat bapak pemutar. Kelar.
Ada komputer IBM, DOS tapi mahal dan ribet.
Rutinitas kuliah berjalan tiada henti, kecuali Minggu. Jenuh, capek, sumpek.
Kata teman-teman yang sudah berkeluarga, "harus segera pulang nih, bahaya". Menggumpal kata mereka sembari tertawa terbahak.
Asrama tidak punya aturan ketat. Maklum rata-rata sudah bapak-bapak. Selebihnya anak muda dewasa. Berjoget, terbahak, menyanyi. No problem. Hitung-hitung obat stres.
Inilah tantangan terbesar. Romantika. Studi sambil merantau. Saya tidak pernah pulkam, selain ongkos banyak, juga belum punya isteri. Untuk apa?
Hari minggu. Surga bagi kami. Menyebar ke destinasi wisata. Jika tidak, jalan ke mall "Suzuya". Atau makan-makan di warung yang bertebaran di kota. Atau ngopi "pancung" di 1001 warkop yang bertebaran.
Biaya jalan dan makan, sisihan dari living cost 225 ribu sebulan. Lumayan saat itu.
Tiada minggu tanpa jalan. Asrama kosong. Bagaimana tidak? Stres, tugas bertumpuk, bayang-bayang peresentasi makalah. Mumet. Tidak jarang ada jatuh sakit.
Saya pernah jatuh sakit. Gegara menyusun makalah "takhriij al-hadiits". Sehari semalam duduk membaca, mencari sumber yang pas. Mengetiknya. Amat berat. Jatuh sakit.
Paling berat bagi saya, saat muslim libur tiba. Nyaris semua teman pulkam. Kadang saya tinggal berdua. Abdul Haris, santri asal Jember, ahli bahasa Arab. Teman berdua di asrama selama libur.
Setelah masuk tahun ajaran baru. Kami harus meninggalkan asrama. Adik letting segera mengganti masuk asrama. Kami kosan.
Saya tinggal di kosan "Fortuna" Kos. Jalan Tengku Di Blang, Darussalam. 5-10 menit bersepeda ke ksmpus.
1 tahun 8 bulan saya mukim di Banda Aceh. Situadi aman, nyaman secara sosial. Adat dan karakter orang Aceh, ramah dan bersahabat.
Seingat saya, belum pernah menyaksikan keributan berarti. Aman dan penuh religiusitas kuat.
Masa-masa kuliah yang berat. Rindu keluarga dan kampung halaman. Campur jadi satu. Semakin berat.
Beruntung saya dipertemukan Allah. Gadis Batak. Asal Pematang Siantar. IAIN Sumatera Utara.
Teman curhat dan berbagi suka dan duka. Merubah berat mrnjadi agak ringan. Dari merengut jadi sumringah, tettawa lepas. Ini anugerah terindah.
Hari demi hari berlalu. Terisi cerita, pengalaman. Berbagi bersama.
Saat purnama. Bumi Darussalam bak syurga. Diterpa sinar rona keemasan rembulan. Sayang dilewatkan. Kami kadang bercengkrama, bukan apa-apa, tapi tentang tugas, judul proposal. Sedikit tentang asmara--he he he--
Berjam-jam berbagi cerita. Tak terasa saat harus berpisah, meski cahaya sang purnama semakin semarak dan teramat indah.
Perjalanan Bus Terindah
Setelah saya merampungkan seminar proposal. Saya meneliti dan menulis tesis di bawah bimbingan Dr. Teuku Safir Iskandar Wijaya, MA. dan Dr. Daniel Djuned, MA.
Selesai disetujui. Akhirnya saya selesai. Gelar M.Ag. di tangan. Mestinya, saat itu PNS juga. Karena alasan politis di biro kepegawaian kampus, saya belum beruntung.
Kini tiba saat yang lama dinanti. Pulkam.
Setelah pasti semua kelar. Tiba saat perpisahan dengan sejumlah teman yang belum selesai.
Senja yang tenang. Cahaya matahari kemerahan, pertanda tak pama lagi sang mentari akan masuk ke peraduannya. sampai tiba Isya. Gema adzan bersahutan. Seakan saksi atas kepulangan ini. Di termina bus, Banda Aceh. Bersama gadis Batak. Saya menikmati senja dan petang. Penuh keindahan. Kami berdua berencana pulang bersama ke Medan. Malam ini.
Kami memilih tumpangan bus besar "Kurnia" full AC, ke Medan. Hitung, kebayang bagaimana indahnya bersama semalaman di atas bus, sambil berbagi cerita.
Kami dari Banda Aceh-Medan semalaman. Entah berapa episode cerita kami berbagi.
Bising suara Kurnia tidak jadi soal. Dikalahkan oleh syahdu, asyik-masyuk obrolan, candaan 2 sejoli yang sedang berdekatan. Semalam di bus Kurnia. Romantis!
Tak terasa. Setelah tidur pulas sekira 4-5 jam. Tiba-tiba terdengar suara adzah Subuh. Masjid perkampungan, Medan.
Kami tiba di kota "Ini Medan Bung". Bumi Si Singamangaraja.
Ini berarti perpisahan semakin di depan mata.
Sore hari esoknya. Kami berdua di terminal Amplas Medan.
Saya memilih via bus ALS, rute Medan-Jakarta. Lantas ke Surabaya. Tanjung Perak. Melengkapi pengalaman merantauku.
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Saat perpisahan tiba. Cepat rasanya.
Inilah detik-detik yang mengharukan. Saya berusaha tenang. Membendung air mata. Agar tak tumpah. Biar sedih tidak terlalu nampak.
Namun di sudut mata gadis di depanku, perlahan air mata jatuh. Gestur tubuh yang dililit sedih. Terlihat jelas mata. Lemah, lunglai bak kehilangan ruh. Kami berdua.
Sebagai lelaki Bugis. Tidak ada yang perlu dirisaukan. Ini takdir! Pulang adalah niscaya. Seperti jua perpisahan.
Saya memegang erat jari jemarinya, seraya bersumpah di hati. Satu saat saya akan datang, meski sendiri berbatang kara. Janji dan sumpah bagi lelaki Bugis, pantang dikhianati.
Saya melepaskan tangannya, sebab bus ALS yang saya tumpangi telah beranjak meninggalkan terminal. Ya, meninggalkan Medan. Kota kenanganku.
Bus berlalu. Saya tidak tahu lagi dan tak bisa bayangkan. Bagaimana seorang diri gadis itu. Pulang dengan sedih di sekujur hatinya.
Doa terikhlasku terpanjatkan. Semoga ia sehat panjang usia.
Maret 1998. Saya tunaikan janjiku. Buktikan sumpahku. KM. kit Siguntang berlabuh di pelaut Sibolga, Tapanuli Tengah, Kotamadya Sibolga. Bagian dari teluk Tapian Nauli Sumatera Utara.
Satu dari ribuan penumpang. Seorang lelaki Bugis turun dari kapal. Akan menyusuri kelokan lembah dan pegunungan Sibolga-Pematang Siantar.
Lelaki yang datang dari pelaut Soekarno-Hatta, Ujung Pandang. Menantang ombak 5 hari 5 malam lamanya. Demi menjumpai gadis. Teman diskusi saat di rantau Aceh. Teman berbagi semalam sepanjang perjalanan darat Aceh-Medan .Teman yang membuatku sedih di sepanjang perjalanan darat dan udara. Medan-Ujung Pandang.
Tiba di Penatang Siantar. Kota tempat gadisku.
Pucuk dicinta ulampun tiba. Gayung bersambut.
Assalamualaikum, wahai gadis. Calon ibu dari anak-anakku kelak !
(Kisah ini sengaja saya cuplik seperlunya. Tidak utuh. Kisah utuh dan seru, saya siapkan untuk buku "Menuju Pelaminan")
Dufa-Dufa, 19/7/20
Komentar
Posting Komentar