SEMANGAT LITERASI ULAMA TERDAHULU

Hamzah


Ulama terdahulu memiliki semangat membaca dan menulis yang tinggi.  Terbukti dari banyaknya hasil karya tulis mereka.  Bahkan karya-karya mereka, sampai sekarang masih dapat kita jumpai.

Jika hendak membandingkan  semangat ulama terdahulu dengan ulama atau akademisi saat ini, jauh berbeda.  

Hasil-hasil karangan, berupa  kitab atau buku oleh ulama dan cendekiawan saat ini, boleh dikata sangat minim, apalagi kitab-kitab yg ditulis dalam bahasa Arab, sebagaimana pernah dilakukan oleh ulama Nusantara.  Ulama semisal Syaikh Nuruddin ar-Raniniry, Syaikh Hamzah Fanzuri, Syaikh Nawawi Ibnu Umar al-Bantani al-Jawi, Kiyai Haji Hasyim Asy'ari (pendiri NU), Anregurutta' Kiyai Haji Muhammad As'ad al-Buqisiy (pendiri pondok pesantren As'adiyah, Sengkang, Wajo, Sulsel) dan masih banyak lagi nama-nama ulama pengarang berbagai kitab dari berbagai daerah.

Bahkan dalam kitab "Tasyniif al-Asma' Bisyuyuukh al-Ijaazah wa al-Samaa" karya Syaikh Mahmud bin Muhammad Mamduuh al-Syafi'iy, menulis daftar nama  sejumlah 26 ulama yang menuntut ilmu di Mekkah, berasal dari Nusantara yang kebanyakan berasal dari pulau Jawa.

Semangat literasi mereka, tidak diragukan lagi.  Mereka menulis kitab-kitab, selain sebagai media penyampaian dakwah, juga  karena ulama terdahulu, menganggap bahwa menulis itu adalah kewajiban, terutama mengiringi kegiatan dakwah mereka.

Syaikh Nawawi Ibnu Umar al-Bantani al-Jawi, atau Syaikh Nawawi Banten, menulis kitab tafsir fenomenalnya "Al-Munir", dalam rangka menyebarkan dakwah beliau kepada masyarakat waktu itu.

Kiyai Hasyim Asy'ari, pendiri organisasi Islam terbesar, Nahdhatul Ulama, menulis kitab  "Adabul 'Alim wa al-Muta'allim" dan kitab pedoman orang-orang NU "Risalah Nahdhatul Ulama'". 

Singkat kata, ulama terdahulu memiliki semangat literasi yang sangat tinggi.  Mereka membaca dan menulis secara konsisten. Sehingga tidak sedikit ulama yang menghasilkan karya tulis, sampai ribuan jumlahnya.

Muhammad Abduh Tuasikal dalam artikel bertajuk "Banyaknya Karya Ulama dalam Tulisan", membuat identifikasi berikut.

Muhammad Ibnu Jarir al-Thabariy (wafat 310 H.), penulis kitab tafsir "Jami' al-Bayaan 'an Ta'wiil Aayi al-Qur'aan", menulis dalam sehari sebanyak 40 lembar. Beliau semasa hidup, telah menulis sebanyak 584. 000 lembar.

Abu al-Wafaa' 'Ali bi 'Aqil al-Hanbaluy al-Baghdaadiy (wafat 513 H.), menulis kitab  "Al-Funuun" sejumlah 800 jilid.

Imam Abu Hatim al-Razi, menulus kitab Musnad sebanyak 1000 juz.  Muhammad al-Jauziy (wafat 597 H.), menulis 2000 jilid buku.  Beliau pernah membaca buku sebanyak 20.000 jilid.

Semangat litetasi ulama terdahulu sungguh luar biasa.  Kita dapat membayangkan, mereka memanfaatkan waktu untuk membaca dan menulis, sedemikian displin dan konsisten, tentu saja dengan semangat yang tinggi.

Kita patut meneladani semangat literasi mereka.  Kegigihan mereka dalam membaca dan menulis. Demikian juga konsistensi mereka, bahkan mereka menghabiskan seluruh waktu sepanjang hidupnya dalam menulis.  

Selain semangat luar biasa dari ulama terdahulu tersebut.  Semangat literasi yang luar biasa, juga pernah ditunjukkan oleh sastrawan Bugis yang melahirkan karya sastra monumental yaitu "La Galigo".
La Galigo merupakan karya sastra  terpanjang di dunia, dengan jumlah 300 ribu baris teks, kurang lebih sekitar 2851 halaman, dan tebalnya enam kali tebal buku halaman  Harry Potter seri ketujuh.

Baik kitab maupun karya sastra yang disebutkan, menjadi isyarat bagaimana semangat literasi ulama dan sastrawan terdahulu.

Ulama terdahulu menulisksn ksrya-karyanya berbasis kepada kebutuhan dan kewajiban, sehingga  mereka memiliki semangat literasi yang sangat tinggi dan stabil. Hasilnya, dapat dibayangkan, sangat produktif dan berkelanjutan.

Inilah yang membedakan, ulama dan pengarang terdahulu dengan sekarang.  Padahal kalau dipikir, saat ini fasilitas membaca dan menulis sudah sangat canggih, dibandingkan dahulu kala fasilitas, baik menulis maupun membaca, sangat tetbatas dan sulit.

Namun, bagainapun problem literasi yang sedang kita hadapi, kita harus tetap optimis dengan cara harus tetap memanfaatkan waktu setiap hari untuk terus membaca dan menulis.

Lebih baik membaca dan menulis, meski sedikitt, dari pada merenung atau mengkhayal, meskipun seisi langit dan bumi.[]

Ternate, 16 Juli 2020

Komentar

Postingan Populer