ISU MAHASISWA DAN DELITERASI AL-QUR'AN

ISU MAHASISWA DAN DELITERASI AL-QUR'AN
Oleh: Hamzah

Isu mahasiswa deliterasi, baik baca maupun tulis al-Qur'an kembali muncul.  Bahkan melahirkan polemik.

Fenomena ini sebenarnya terjadi di mana saja, di kampus PTKIN/S maju sekalipun.  Hanya intensitas dan kuantitasnya berbeda.

Di kampus kita, tergolong cukup banyak jumlah kasus deliterasi tersebut. Kemungkinan besar akibat Maluku Utara (Malut) tidak berbasis pesantren. Selain itu tingkat kepeduliah orang tua terhadap literasi al-Qur'an "rendah".  Buktinya, mudah dijumpai oknum siswa, mahasiswa, dosen dan khatib yang belum  memiliki literasi al-Qur'an dan pemahaman dengan cukup baik dan mantap.

Ini problem serius dan kita memiliki tanggung jawab kolektif, khususnya kalangan melek literasi al-Qur'an.

Di lingkungan IAIN Ternate, upaya yang dilakukan oleh pembina Ma'had, dosen penasehat akademik dan program BTA metode Iqra' pak Agustang dkk., layak mendapat apresiasi. Namun belum cukup, sebab yang buta baca dan aksara al-Qur'an bagaikan "hilang satu tumbuh seribu".

Sejarah dan kultur sosio-literer al-Qur'an dan Sunnah, masyarakat Malut yang tidak terbangun secara kuat dan fundamental, menjadi biang pokok.

Bahwa slogan kesultanan Ternate yang menyebut 
"Adat Matoto Agama, Agama Matoto Kitabullah, Kitabullah Matoto Jou Allah Ta`ala" "benar adanya. Tapi tidak memiliki akar yang kuat dalam hal implementasi.

Ulama dan Kiyai Malut yang mengajarkan al-Qur'an, tidak melembaga kuat dalam sistem surau, langgar, pondok, halaqah dll. sebagaimana di Jawa, Sumatera dan Sulawesi.

Karena itu, kita harus bijaksana, dalam arti paham dengan baik secara historis dan filosofis kondisi kita di Malut. Jika kita berpikir idealis, maka kita berhadapan dengan  problem rumit, delitersi.

Namun jika kita juga ber "masa bodoh", maka kita tidak hanya tidak maju secara akademik, tapi berdosa secara teologis.

Bagi saya syarat rekrutmen maba dengan mahir BTA, khusus IAIN Ternate, tidak perlu lagi.  Alasannya sebagai berikut.

Pertama, inkonsistensi kebijakan.  Jika lembaga mengsyaratkan maba harus mahir BTA, maka akan terjadi pelanggaran administrasi dan inkonsistensi kebijakan dari panitia rekrutmen sendiri. Kalau benar-benar mau konsisten, resikonya jumlah maba yang mampu lolos sedikit. Padahal IAIN Ternate sangat membutuhkan jumlah rekrutmen maba.

Kedua, alih status ke UIN membutuhkan ribuan jumlah mahasiswa yang harus direkrut.

Sangat mustahil jika syarat mahir BTA diterapkan. Sebab calon maba universitas tidak lagi semata berlatar belakang pendidikan agama.

Bagaimana solusinya ?

Urusan ini membutuhkan ide-ide cerdas dan kreatif dari pejabat yang menangani bidang akademik. Bukan lagi masanya ngomong di meja kerja, tapi perlu melakukan riset dan studi banding ke kampus-kampus maju yang terbukti dan mampu mengatasi problem deliterasi al-Qur'an.

Contoh paling dekat adalah Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar yang sejak lama sudah menerapkan sistem "matrikulasi"
dan "pesantren kilat" khusus untuk maba yang buta BTA.

Selain itu rekonstruksi kurikulum, terutama mengarusutamakan 
dan intensifikasi kuliah BTA atau apapun namanya, sebagai mata kuliah wajib  non SKS.

Tentu saja selalu ada solusi untuk mengatasi problem laten ini.  Tetapi dengan syarat memiliki orang-orang serius dan kreatif di dalam pengelolaan bidang akademik. Terutama menemukan formulasi atas deliterasi al-Qur'an.

Hal ini jauh lebih penting dan terhormat di lakukan, ketimbang berdebat kusir seputar fenomena atau fakta mahasiswa buta BTA.

Kini saatnya kita bersama "to doing something useful", bukan "to debating something useless".

Mari menyongsong transformasi IAIN ke UIN dengan optimis dan aksi nyata yang produktif.[]

Wallahu a'lam.
Ternate, 28/8/2020

Komentar

Postingan Populer