Perspektif Baru dalam Menuls

Perspektif Baru dalam Menuls

Oleh: Hamzah

   Di zaman dulu, menulis biasanya hanya bisa dilakukan oleh orang tertentu, yaitu orang yang memang berprofesi sebagai penulis atau pengarang. Dunia menulis bersifat eksklusif dan terbatas.  Hanya bisa dilakukan oleh segelintir orang khusus.

   Karena keterbatasan tersebut, publikasi dunia informasi dan ilmu pengetahuan juga ikut terbatas.  Karena keterbatasan sumber daya penulis, juga fasilitas yang kurang mendukung.
    
   Kini di era moderen dan digital ini.  Keterbatasan tersebut menjadi terbuka dan dinamis.   Dunia menulis boleh dibilang milik siapa saja yang mau menulis.  Menulis kini bersifat inklusif dan bebas.  Publikasi ilmu pengetahuanpun semakin marak dan dinamis.

   Selain bisa dilakukan oleh siapa saja yang mau dan berkemampuan, menulis juga didukung oleh sejumlah fasilitas melimpah dan memudahkan.

   Jika diperhatikan, menulis bisa dilakukan siapa saja dan didukung oleh sejumlah kemudahan fasilitas, maka seharusnya dunia menulis menjadi ramai.  Namun kenyataannya tidak demikian.  Tetap saja menulis menjadi sesuatu yang sulit dilakukan.  Faktor utama biasanya dikemukakan oleh pegiat literasi, terutama minimnya waktu luang dan semangat menulis yang pasang-surut.

   Minimnya waktu luang dan semangat menulis yang pasang-surut, kini menejadi bahan utama para motivator dan pegiat literasi dalam menemukan solusi.

   Alhasil, sebenarnya dua faktor yang menjadi momok dunia menulis tersebut, tidak lagi menjadi batu sandung.  Sebab ternyata bisa diatasi dengan tips dan trik tertentu.  Misalnya dengan menerapkan cara menulis "menyicil" atau menulis dua atau tiga paragraf setiap hari.

   Meluangkan waktu di saat sedang sibuk, juga menjadi solusi dalam menulis.  Ini membutuhkan komitmen dan konsistensi yang tinggi.

    Namun apapun tips dan trik dalam menulis, memang akan selalu berpulang kepada persepsi dan perspektif seseorang tentang menulis.

   Perspektif tentang menulis harus direformasi.  Tidak lagi cukup menganggap menulis itu hanya sekedar memenuhi tuntutan pragmatis akademik.  Misalnya memenuhi permintaan syarat kenaikan pangkat atau sebagai bahan seminar dan workshop dan lain-lain.

   Menulis idealnya menjadi habit dan tradisi yang melekat dan menjadi bagian dari hidup sebagai insan akademik.

   Karena itu, perspektif tentang menulis, butuh transformasi yang lebih baru dan dinamis.  Berikut sejumlah perspektif yang bisa menjadi solusi.

   Pertama, menulis menjadi kewajiban sosialogis dan teologis.  Menulis tidak lagi dianggap sebagai kewajiban akademik, tetapi harus diterima sebagai kewajiban sosial dan Tuhan.

   Menulis berarti memenuhi kewajiban membantu dan menyelesaikan masalah masyarakat dan kemasyarakatan.  Kita merasa berkewajiban berkontribusi kepada masyarakat melalui tulisan.

   Demikian juga dengan menulis, berarti kita menyelesaikan kewajiban yang dipahami berasal dari Tuhan.  Ayat pertama turun mengindikasikan adanya tulis menulis dengan pena (al-qalam).  Dengan menulis, tentu saja berarti tunduk dan mengabdi kepada Allah dengan jalan menulis, agar ajaran multidimensi Islam bisa tersosialisasi dan terpahami dengan baik.  Inilah fungsi menulis dalam Islam paling fubdamental.

   Kedua, menulis berarti menunaikan fungsi khalifah.  Secara fungsional manusia adalah wakil atau pengganti Tuhan di bumi.  Fungsi istikhlaf ini membutuhkan kemampuan selain kecerdasan, juga kemampuan literasi.  Rasulullah saw. beserta para sahabat menyiarkan Islam, tidak terpisahkan dari masalah literasi.  Para sahabat menulis ayat demi ayat yang turun sejak awal hingga berakgir turun.  Demikian juga beratus ratus ribu hadis ditulis oleh para sahabat.

   Literasi ini meneguhkan betapa umat Islam menunjukkan fungsi kekhalifahan mereka, mewakili Allah dalam memakmurkan bumi melalui literasi.

   Ketiga, menulis merupakan memberi asupan rohani.  Dengan menulis seseorang membutuhkan membaca dan merenung atau berpikir.  Hal ini menjadi positif bagi rohani atau batin seseorang.  

   Semakin banyak membaca dan merenung, seseorang akan terdampak sehat dan positif, terutama kesehatan rohaninya.  Aspek spiritualnya lebih berfungsi dan produktif.  Karena itu akan mengalami perkembangan yang lebih baik, ketimbang tidak sama sekali membaca dan berpikir.  Menulis diibaratkan sama dengan berdzikir yang bisa mengantarkan hati seseorang menjadi tenang dan tentram.

   Aktivitas menulis, tidak bisa lagi dipandang hanya sebatas kewajiban akdemik semata.  Perspektif kita harus diperluas sebagaimana sejumlah perspektif yang telah dikemukakan di atas.  Tidak mudah memang melakukan transformasi perspektif, namun jika kita berusaha sadar dan berusaha memahami betapa pentingnya menulis bagi kehidupan ini, maka hal itu tidak menjadi berat.

   Menulis bukan lagi soal akademik semata tapi juga tentang kewajiban sosiologis, teoligis dan memenuhi kebutuhan batin.

Ternate, 6/9/2020

   

Komentar

Postingan Populer